Tokoh Buruh Muchtar Pakpahan hadiri diskusi GMKI, juga hadir Anggota DPR Martin Hutabarat (batik coklat) dan Ketum PP GMKI Corneles Galanjinjinai.(Foto: Ralian)
BeTimes.id-Tokoh buruh Muchtar Pakpahan ingatkan Presiden Joko Widodo untuk tidak memandang remeh persoalan Papua.
Muchtar melihat Jokowi, panggilan Presiden Joko Widodo itu, adalah presiden yang paling sering berkunjung ke tanah Papua, di banding Presiden Indonesia sebelumnya.
Namun, bagi Muchtar kunjungan orang nomor satu itu ke tanah Papua, bukan berarti keberpihakan terhadap masyarakat Papua. Karena sampai saat ini sebanyak 78 % masyarakat Papua mengalami buta huruf.
“Penduduk Papua sebanyak 78 % mengalami buta huruf. Pemerintah tidak menjalankan amanat konstitusi Pasal 31 UUD 1945. Untuk mengatasi ini, Presiden Jokowi harus memberikan kebijakan khusus, bukan kebijakan normal,”ujar Muchtar dalam diskusi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Jakarta, Sabtu (28/09).
Hadir Ketua Umum PP GMKI Corneles Galanjinjinai, Anggota DPR RI Martin Hutabarat dan Guru Besar Universitas Hasanudin Marthen Napang. Dimoderatori Sekretaris Fungsi PP GMKI Christian Patricho Adoe.
Dikatakan, untuk mengatasi buta huruf, maka Jokowi menciptakan guru dari masyarakat Papua sendiri. “Presiden Jokowi harus didik orang Papua menjadi guru,” tegas Muchtar.
Sampai saat ini, pasar-pasar di Tanah Papua dikuasai pendatang. Sementara orang Papua terpinggirkan. “Tidak ada pedagang Papua. Yang ada dari suku-suku yang lain. Jika ini tidak dibenahi, maka akan menjadi warning,” tambah Muchtar.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra Martin Hutabarat mengatakan, persoalan Papua bukan hal yang baru. Menurutnya, Papua tidak ingin otonomi khusus, tapi ingin disamakan dengan Provinsi lain. “Pada zaman Presiden BJ Habibie memberikan otonomi khusus terhadap Aceh dan Papua. Tapi Papua bukan menginginkan otonomi khusus, tapi ingin disamakan dengan provinsi lain,” tambahnya.
Martin ingatkan Presiden Jokowi, kedatangan pendatang mencapai 50 % lebih dari jumlah penduduk Papua menjadi tantangan tersendiri. Menurutnya, jangan sampai kedatangan pendatang menjadi mayoritas hingga membuat masyarakat Papua seperti masyarakat Aborigin di Australia.
Ketidakadilan, kata Martin, bila tidak dikelola dengan baik, akan menjadi bom waktu tersendiri di Papua. Menurutnya, di Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tahun 1994, masyarakat Papua sudah berseru agar PGI dapat menolong masyarakat Indonesia paling timur itu. “Sayangnya gereja tidak pernah memperhatikan mereka (Papua),”ujar Martin prihatin.
Generasi muda Papua sekarang harus disikapi serius dan bijak. Karena para generasi Papua sekarang ini lebih menuntut merdeka, ketimbang bergabung dengan Indonesia.
“Bayangkan saja Gubernur Papua Lukas Enembe datang ke Asrama Papua diusir. Para Mahasiswa menganggap gubernur adalah bagian dari Pemerintah Indonesia. Masalah Papua itu harus diselesaikan dengan hati-hati,” ujarnya.
Martin juga mengkritik pembangunan infrastruktur di Papua yang dilakukan secara masif oleh Presiden Jokowi. Dia beralasan, masyarakat Papua yang sampai saat ini mayoritas miskin akan sulit untuk dapat menikmati infrastruktur tersebut. “Apa mungkin mayoritas petani ubi jalar dapat menikmati infrastruktur dan diperuntukkan oleh mereka,”ujarnya.
Guru Besar Universitas Hasanudin Marten Napang mengatakan, Papua bagian NKRI adalah sudah final. Pasalnya, Papua bergabung ke Pemerintahan Indonesia melalui hak penentuan pendapat rakyat (Papera). “Papua sudah final tapi jangan sampai ada yang minta Kemerdekaan. Sayang sekali kalau ada yang minta kemerdekaam, dan ada korban,” ujarnya. (ral)
Komentar