BeTimes.id — Penasehat hukum terdakwa Randi Septhian, dengan perkara nomor; 64/Pid B/2020/PN.Bks, menyangkan dan prihatin atas pernyataan oknum dosen yang menanggapi status kliennya.
Alasannya, dosen semestinya mengerti tentang asas yang melarang menanggapi putusan majelis hakim. Hal ini disampaikan T.A Kahar kepada bekasitimes.id, Sabtu (16/5/2020).
Menurutnya, asas yang disebut dengan “trial by the pres” tersebut dalam konteks putusan yang belum berkekuatan hukum tetap tidak boleh dikomentari di media untuk menjaga netralitas hakim.
Kahar menjelaskan, mengomentari putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap adalah melanggar prinsip larangan “trial by the pres” apalagi dalam konteks berita yang disampaikan dosen tersebut.
“Saudara Ferdinan kami nilai tidak mengerti sama sekali atas perkara yang disidangkan dan telah memperoleh putusan pengadilan tingkat pertama,” kata Kahar, sekaligus mengklarifikasi berita sebelumnya.
Ia menceritakan, justru kliennya lah yang terzolimi dan tidak memperoleh keadilan substansial serta keadilan prosedural.
Kenapa, kata dia, karena fakta-fakta didalam persidangan tentang pembuktian tidak dipertimbangkan secara memadai.
Contohnya lanjutnya, adalah hasil rekam medik yang bertentangan hasilnya dengan visum et refertum.
Yang mana hasil visum et refertum diminta penyidik Kepolisian otomatis hasilnya mewakili kepentingan korban dan peradilan. Namun, visum et refertum tersebut dikesampingkan sekali oleh majelis hakim.
“Rekam medik yang diajukan sebagai bukti dipersidangan diperoleh secara tidak prosedural, karena diminta sendri oleh pihak korban atau keluarganya secara diam-diam,” katanya.
Padahal kata Kahar, seharusnya rekam medik tersebut harus diminta pihak Kepolisian selaku penyidik yang sedang menangani kasus korban karena hal itu bertentangan dengan pasal 133 ayat (1) dan (2) Jo 179 KUHAP serta kode etik Kedokteran pasal 7.
Justru dipertimbangkan majelis hakim sebagai putusan. Bahwa tuntutan JPU dan vonis hakim justru telah memposisikan terdakwa pada posisi “terzolimi” karena beberapa alasan.
Pertama, JPU dan mejelis hakim tidak mempertimbangkan dan tidak meletakkan secara adil tentang adanya keterangan dari 2 ahli kedokteran yang saling kontradiktif terkait dengan sifat luka dialami korban.
Kedua, hakim juga tidak mempertimbangkan tentang boleh tidaknya rekam medik yang diminta sendiri oleh pihak korban secara diam-diam tanpa surat permintaan dari penyidik kepolisian untuk sebagai alat bukti.
“Jika ingin menilai “akrobatik” yang diperankan oleh JPU dan majelis hakim, justru terletak dalam konteks kedua fakta tersebut diatas,” ucapnya.
Terkait dengan penahanan masih kata dia, semuanya telah bersifat prosedural. Karena penangguhan penahanan itu adalah bagian hak tersangka atau terdakwa yang dijamin undang-undang selama hal itu diperkenankan dan dikabulkan majelis hakim.
“Kami dari pihak terdakwa dan keluarga akan secara terus menerus mencari keadilan, oleh karena itu kita melakukan upaya banding,” tegasnya.
Ia mengklaim bahwa hukuman 1,6 tahun yang dijatuhkan majelis hakim terasa amat berat bila dibandingkan dengan luka ringan yang dialami korban.
“Kiranya semua klarifikasi kami diatas, membuat semuanya menjadi jelas, apalagi berkomentar yang tidak mengerti dan tidak sesuai dengan fakta persidangan,” tutupnya. (tgm)
Komentar