BeTimes.id-Pengurus Pusat (PP) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) sepakat bahwa UU ITE sebagai komitmen bersama warga negara untuk menciptakan ketertiban umum dan mengapresiasi inisiatif pemerintah untuk merevisi UU ITE.
“Meski mengapresiasi yang ingin dilakukan pemerintah, GMKI memberikan catatan kritis mengenai integrasi privasi warga dan ruang publik. Revisi UU ITE harus memperjelas pranata hukum agar tidak jadi bumerang bagi pemerintah yang menjadi penafsir tunggal belakangan ini,”tegas Ketua Umum PP GMKI Jefri Gultom dalam diskusi webinar yang digelar Bidang Infokom PP GMKI bertajuk “Menuntut keadilan dalam revisi undang-undang informasi dan transaksi elektronik, Kamis (25/1).
Menurutnya, jangan sampai masyarakat memberi kritik kepada pemerintah seakan dinilai sebagai penyebar hoaks. Artinya UU ITE harus jadi parameter dan simpul kewarasan publik dalam membangun infrastruktur digital yang mumpuni dan punya dimensi etis dalam ruang publik bersama.
“Pemerintah diharapkan bersikap tegas dalam penegakkan hukum yang harus menjawab tuntutan keadilan bersama, “terang Jefri.
Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Politik dan Keamanan (PUSPOLKAM) Indonesia, Firman Jaya Daeli Menyampaikan, Jika UU ITE direvisi maka soal keadilan itu menjadi penting. Dan juga harus berorientasi untuk menciptakan sistem ketertiban umum dan juga perlindungan terhadap hak-hak personal warga masyarakat atau warga negara.
“Ketika ada pemikiran membangun keinginan untuk merevisi UU ITE tentu itu kita akan bicarakan, kita akomodasi dan langkah pertama sudah dilakukan oleh GMKI Dengan memulai sebuah prespektif melalui pelaksanaan diskusi UU ITE, dan selanjutnya tentu mengawal prosesnya,”ujar Firman.
Mantan Anggota Komisi III DPR RI ini mengatakan, konstruksi UU ITE Jika terjadi revisi maka substansinya harus mengakomodasi, dan memastikan bahwa membuka ruang secara serius, memaksimalkan dan menjamin serta memastikan kebebasan berekspresi mengungkapkan pendapat dan pikiran sehingga tidak ada kekhawatiran yang berlebihan.
“Tidak ada kegusaran ekstra dari masyarakat untuk menyampaikan, membumikan apa yang menjadi hak-hak konstitusional dalam berekspresi”, terang firman.
Firman melanjutkan, sembari menunggu proses revisi UU ITE maka menjadi menarik apa yang dilakukan POLRI dengan mengeluarkan pedoman tentang penerapan UU Informasi dan dan Transaksi Elektronik.
“Paling tidak untuk mengurangi kekhawatiran publik, juga ketakutan warga dalam hal berekspresi,”ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Harry Ara Hutabarat SH. MH pada pemaparannya lebih fokus membahas pemahaman UU No. 14/2008 tentang informasi keterbukaan publik, tidak ke substansi revisi UU ITE materil. Menurutnya, secara yuridis masyarakat memiliki hak yang melekat untuk memperoleh setiap informasi publik.
Lanjut Harry, pada proses revisi UU ITE hal yang sangat etis jika Masyarakat meminta informasi Publik termasuk anggran yang digunakan pada proses Revisi UU ITE.
“Undang-Undang Keterbukaan informasi publik menjamin terpenuhi hak setiap orang untuk memperoleh informasi, jangan sampai UU ITE di sahkan atau di setujui oleh pihak legislatif, pihak eksekutif atau yudikatif tapi pada prosesnya masyarakat tidak terlibat dalam partisipasi publik”. ujarnya. (Ralian)
Komentar