BeTimes.id-Sekretaris Jenderal Jokowi Centre Imanta Ginting mengatakan, pada bulan Desember 2019, Presiden Indonesia Joko Widodo secara resmi mengeluarkan program mandatori B 30, yang diyakini bisa menghemat devisa negara Rp.63 triliun.
Program Kementerian ESDM tahun 2020itu yakni kewajiban untuk mencampur biodesel sebesar 30 % terhadap total bahan bakar diesel.
“Ini suatu angka fantastik di tengah kabut ketidak pastian ekonomi nasional imbas pandemi Covid-19. Selain mengikat kuat cadangan devisa, implementasi program B 30 mampu mendorong target National Determined Contribution(NDC), “terang Imanta dalam keterangan persnya kepada warwatawan, Minggu (29/8/2021).
Berdasarkan kalkulasi Kementerian ESDM pada 2020 menyebutkan akan terjadi pengurangan emisi GRK sebesar 14.25 juta ton CO2 atau setara dengan emisi yang dihasilkan dari 52 ribu bus kecil. Setali tiga uang, kata Imanta, kondisi ini menghantarkan kita pada pembangunan yang mengedapankan peningkatan kualitaslingkungan hidup.
Menurut Imanta, pengembangan biodiesel bila dituntun dengan kompas yang tepat dapat membuat Indonesia dari kubangan bahan bakar fosil. Dan juga, mengurangi defisit transaksi berjalan.
“Serta mengokokohkan ketahanan dan keamanan energi nasional. Turunan lainnya yang akan timbul adalah kestabilan harga CPO serta merangsang pertambahan nilai akibat dari hilirisasi industri kelapa sawit. Hal ini ditunjukan dengan tren peningkatan volume penyaluran biodiesel yang sejak tahun 2015,”kata Imanta.
Berdasarkan data Kementerian ESDM pada 2020 menyingkap, pada 2015 volume penyaluran biodesel berada diangka 0.43 juta kl, dan di tahun 2016 sebesaR 2.77 juta Kl. Selanjutnya, pada tahun 2017 sebesar 2.57 juta kl, di tahun 2018 sebesar 3.55 juta kl dan meningkat sebesar 3.02 juta kl di tahun 2019.
Menurutnya, serapan pada 2021 ini masih akan relatif stabil yakni sebesar 10,2 juta kl. Selanjutnya, kata Imanta, serapan biodiesel mulai naik signifikan sebesar 14,2 juta Kl pada tahun 2022 dan terus meningkat menjadi 14,6 juta Kl pada 2023, dan mencapai 17,4 juta Kl tahun 2024.
Dia mengatakan, di balik angka serapan yang sering memuncak namun petani kelapa sawit rakyat tampak dipinggirkan, dimana akses mulus dalam memasok kebutuhan program B30 dewasa ini hanya dirasakan para konglomerasi industri kelapa sawit.
“Semangat no one left behind sebagai slogan darisustainable development goals nyaris terdengar sayup. Petani teralienasi dan dibiarkan sendiri menelusuri jalan setapak menuju program B40. Memang bila dibandingkan dengan perkebunan besar swasta, performa produktivitas perkebunan sawit rakyat agak keteteran,”ujar mahasiswa Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.
Berdasarkan data BPS pada 2020, memaparkan dari segi produktivitas perkebunan di tahun 2019,perkebunan besar swasta mempunyai produktivitas tertinggi, selanjutnya diikuti perkebunan besar negara dengan produktivitas masing-masing sebesar 4.445 kg/hadan.
Selanjutnya, Imanta mengatakan, pemerintah melalui Instruksi Presi den NO. 6/2019 telah mendorong peningkatan produktivitas kelapa sawit melalui peremajaan sawit, penggunaan bibit unggul dan peningkatan kapasitas petani sawit.
“Untuk mensintesiskan gagasan menjadi gerakan yang konkret, maka diperlukan prespektif pemerintah, akademisi, serta masukan dari CSO dalam mengawal transisi B30 ke B 40,” ujar Imanta. (Ralian)
Komentar