BeTimes.id-Bagi masyarakat Papua hutan adalah pasar dan belanja tanpa mengeluarkan uang. Berdasarkan catatan Badana Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) selama 20 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan 10,8 juta hektar tutupan hutan akibat alih fungsi lahan dan kebakaran hutan.
Tercatat luas tutupan hutan diperkirakan akan berkurang sebesar 17,2 juta hektar dalam kurun waktu tahun 2000 hingga 2045 jika tidak ada upaya khusus untuk melindungi tutupan hutan.
Direktur Eksekutif EcoNusa Maryo S Sanuddin mengungkapkan, sebanyak 2 juta hektar hutan di dunia Provinsi di Papua dan Papua Barat akan alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Alih fungsi itu terdapat di 16 Kabupaten, yakni delapan kabupaten di Papua dan delapan kabupaten di Papua Barat. Alih fungsi hutan menjadi kelapa sawit ini sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat Papua, dan berharap Pemerintahan Jokowi memperhatikan alih fungsi ini,”kata Maryo dalam diskusi Webinar Nasional yang digelar Jokowi Centre bertajuk,” “Deforestasi dan Komitmen Perubahan Iklim Indonesia Menuju COP-26, Rabu (3/11).
Lebih lanjut, upaya pemerintah mengalihkan Food Estate dari makanan pokok masyarakat Papua sagu dengan beralih ke makanan pokok padi dan jagung akan menjadi ancaman bagi masyarat Indonesia paling Timur itu.
“Biarkan masyarakat Papua dari makanan pokok sehari-harinya. Jika diganti maka akan mengancam kehidupan masyarakat lainnya,”terang Maryo.
Berdasarkan data Koalisi Indonesia Memantau tahun 2021 tercatat, dalam dua dekade terakhir Merauke dan Bovendigoel di bagian Selatan Provinsi Papua menjadi paling dominan kehilangan hutan alam, masing-masing seluas 32.924 hektare. Sementara, deforetasi yang terjadi di wilayah Provinsi Papua Barat relatif merata. Terbesar terjadi di Kabupaten Teluk Bintuni 33.443 hektare, Kabupaten Sorong 33.434 hektare dan Kabupaten Fakfak 31.777 hektare.
Sementara itu, analis Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Tirza mengatakan, dibalik program pemerintah yang tengah bergulir, nyatanya tumpang tindah hak penggunaan lahan yang dekat dengan kawasan hutan masih saja belum dapat dituntaskan.
Fenomena ini jadi ancaman karena masyarakat sekitar kawasan mengantungkan kehidupannya dengan keadaan hutan yang lestari.
“Seperti yang terjadi di hutan Teringkang , Desa Gunam, Kalimantan barat , banyak sumberdaya yang ada di dalam hutan yang akan hilang bila hutan tidak dijaga, sehingga sumberdaya penting yang dimiliki masyarakat dan sangat pantas untuk diperjuangakan dan dipertahankan” tegas Tirza.
Menurutnya, partisipasi masyrakat juga menjadi kunci dalam perencanaan perlindungan area hutan yang mengelaborasi pandangan masyarakat dalam menentukan kawasan – kawasan penting di dalam hutan. “Termasuk petani sawit yang turut membantu penyelamatan hutan Indonesia,”tambah Tirza.
Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Hanif Faiso Nurofiq mengutarakan bahwa upaya pemeritnah dalam menurunkan carbon dilakukan dalam dua skenario dimana sektor kehutanan diharapkan dapat berkontribusi sebesar 17.20% dengan usaha sendiri.
Selanjutnya, sekitar 24.10% dengan bantuan internasional. Upaya yang dilakukan salah satunya dengan cara mengurangi emisi dari deforestasi dan lahan gambut.
Guru Besar Institute Pertanian Bogor (IPB)
Hariadi Kartodiharjo mengatakan persoalan tata kelola kehutanan sangat rumit dan sangat dekat sekali dengan korupsi institusional.
“Tumpang tindih status kawasan masih jadi masalah dalam tatakelola kehutanan. “Ini bukan persoalan perorangan tetapi sistem yang bekerja terjadi secara sistematis sehingga disebut dengan korupsi institusional”, jelasnya.
Hariadi juga menekankan bahwa upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan pemanfaatan SDA/Hutan masih terbentur dengan persoalan instusi, sehingga peran masyarakat sipil perlu terus diperkuat dalam mengimbangi dan mengontrol pelaksanaan good governace yang baik di sektor kehutanan. (Ralian)
Direktur Eksekutif EcoNusa Maryo S Sanuddin. (Foto: Ralian
Komentar