Lokakarya Nasional DPP GAMKI membicarakan masalah penanganan konflik di Papua. (Foto: Istimewa)
BeTines.id-Hingga kini masalah konflik di tanah Papua masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Padahal, konflik di Aceh bisa ditangani dengan baik hingga menjadi daerah otonomi khusus dengan berdirinya partai lokal di Aceh.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) periode 2007-2012 Josep Stanley Adi Prasetyo mengatakan, dalam menangani masalah Papua tidak bisa dilakukan dengan pendekatan elit, namun harus melibatkan masyarakat, dengan melibatkan kearifan lokal.
“Dalam menangani konflik di Papua jangan melupakan unsur masyarakat, dan kearifan lokal (local wisdom). Menurut saya ini yang dilupakan, padahal perfektif lokal sangat penting dalam penanganan kinflik di Papua,” Kata Josep dalam diskusi daring Lokakarya Nasional yang digelar Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) bertajuk “Mencegah Konflik Membangun Budaya Damai”, Senin (20/12).
Joseph mengemukakan, sejak tahun 2000 sudah digagas untuk mengatasi konflik di daerah Indonesia paling timur itu dengan membangun Papua Damai. “Saya didorong mewujudkan Papua Tanah damai di era Kapolda Made Pastika, jalan Papua Damai apa yang dijalankan bertahun-tahun,” terang Ketua Dewan Pers periode 2013-2016 itu.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur di tanah Papua yang dilakukan Presiden Joko Widodo adalah langkah yang baik, dan perlu diapresiasi. Akan tetapi, pembangunan infrastruktur bukan solusi menyelesaikan konflik Papua. “Apalagi sekarang ini masih terjadi pengungsian masyarakat, dan masyarakat masih takut,” tukas Joseph.
Joseph mengemukakan, penanganan masalah Papua selalu diupayakan Pemerintah. Pasalnya, pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggunakan tangan kanan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun, sangat disayangkan adanya saran dari Pemerintahan SBY untuk tidak melakukan dialog dengan organisasi Papua Merdeka (OPM).
Menurut Joseph, dengan menetapkan OPM sebagai organisasi teroris maka akan semakin panjang jalan komunikasi untuk perdamaian di tanah Papua. “Jalan perdamaian selalu berakhir dengan dijawab dengan mengerahkan pasukan,”ujar Josepg.
Dikatakan, GAMKI sebagai ormas kepemudaan Kristen yang siqnifikan massanya di Papua bisa mengambil peran lebih progresiif lagi dalam memberikan proposal perdamaian di tanah Papua. “GAMKI buka hanya pegiat perdamaian, tetapi provokator perdamaian, dengan melibatkan masyarakat dan kearifan lokal. Pemerintah juga punya keinginan untuk adanya perdamaian di tanah Papua,”terang Joseph.
Dalam acara yang sama, Akademisi UPH Jakarta Andriana Elisabeth sependapat, bahwa dalam mewujudkan damai di tanah Papua perlu melibatkan masyarakat dan kearifan lokal. Namun, sangat disayangkan masih kurang serius dalam penanganan ini.
“Maka juga perlu antropolog dihadirkan. Selama ini peran pemuda dan gereja kurang dilibatkan. GAMKI harus melihat potensi pemuda dalam keterlibatan dan damai. Pemerintah selalu mengedepankan dialog tapi sudah curiga dan itu kesalahan fatal,”terang Adriana.
Dikatakan, konflik di tanah Papua yang sudah 50 tahun terjadi adalah sesuatu yang harus dipikirkan secara bijak bagi pemerintah untuk mengatasi konflik tersebut.
Menurutnya, konflik yang berlarut-larut sangat merugikan berbagai pihak. “Dari kajian yang dilakukan, GAMKI sebaiknya memberikan solusi ke depan dalam mengatasi konflik di Papua,” imbuh Adriana.
Pakar Konflik, Ekstrenimisme Kekerasan dan Stabilitas Program Konflik di Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika Umelto Labetubun mengutarakan, konflk di Papua terjadi karena ada inferio mentaliti (perasaan kekuatiran) dimana isu-isu perpecahan dan ideologi yang mempengaruhi, sehingga persoalan konflik di Papua hingga kini masih terjadi. “Isu terorisme dan anti islam juga dimainkan dalam kasus Papua,” tukas Alto, panggilan Umelto Labetubun.
Menurut Alto, pandangan dari minoritas menjadi mayoritas harus menjadi pemikiran yang ada dalam mengatasi konflik yang terjadi di Papua. “Keluarga Soeharto sedikit sekali, tapi selalu berpandangan super mayoritas. Ini yang terjadi di Timur Tengah, kelompok monoritas jumlahnya sedikit tetapi menjadi super power,”tambah Alto.
Sementara itu, Wakil Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) Angel Damayanti mengatakan, pemerintah tidak bisa mengatasi masalah keamanan di Papua tanpa melibatkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Selain itu, perlu adanya upaya untuk mencari akar penyebab konfli dan solusi mengatasi konflik. (Ralian)
Komentar