Dialog Nasional Lintas Agama, PGI Minta Masyarakat Indonesia Belajar Dari Pendiri Bangsa

Nasional344 Dilihat

BeTimes.id – Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Gomar Gultom mengatakan, momen 77 tahun Indonesia merdeka, masyarakat perlu belajar dari para pendiri bangsa.

Menurut Gomar, pada Sidang BPUPKI, 22 Juni 1945, dibentuk Panitia Sembilan, yang diketuai oleh Soekarno. “Kita tahu bersama hasil dari Panitia Sembilan ini, Piagam Jakarta. Lalu pada 18 Agustus 1945, Sidang PPKI menyepakati perubahan sila pertama, dengan menghilangkan tujuh kata,”tambah Gomar.

Perubahan tujuh kata, lanjut Gomar, untuk menjaga kepentingan bangsa dan negara karena Indonesia terdiri dari beragam suku dan agama.

Gomar menegaskan, dalam Dialog Nasional Lintas Agama, di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Senin (8/8). Dialog bertajuk Membina Persaudaraan Melalui Hikmah Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77.

“Buat saya menarik, bagaimana AA Maramis, yang Kristen sedia mencantumkan 7 kata dalam Piagam Jakarta, dan bagaimana Kyai Abdul Wahid Hasyim, Teuku Muhamad Hasan dll yang muslim sedia menghapus tujuh kata tersebut pada 18 Agustus. Inilah yang saya lihat, kesediaan memasuki kesepakatan dengan mengedepankan kepentingan bersama, dan mengorbankan kepentingan diri dan kelompok,” jelas Gomar.

Selain itu, lanjut Gomar, masyarakat juga perlu belajar dari ungkapan para pendiri bangsa yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu tidak semata karena adanya kejuangan mereka, tetapi adalah rahmat Tuhan, baik di teks proklamai maupun pembukaan UUD 1945.

“Ini merupakan sebuah pengakuan tetapi sekaligus juga tanda kerendahan hati, yang membuka pintu untuk senantiasa mensyukuri rahmat Tuhan atas Indonesia merdeka,”jelas Gomar.

Munculnya semangat kesatuan bangsa di tengah beragam suku dan agama adalah rahmat dan anugerah Tuhan. Tanpa kesediaan sedemikian, masyarakat tidak akan mengenal dan menikmati indahnya kemajemukan Indonesia.

“Saya merasa perlu menyampaikan hal pertama ini di tengah kecenderungan kita sekarang yang selalu mau menang sendiri dan memaksakan kehendak. Ruang publik, ganti kita berbagi dengan memberi kesempatan semua pihak mengekspresikan dirinya secara adil, kini ruang publik dipenuhi dengan rebutan yang seolah tak pernah berakhir,” tukas Gomar.

Selain itu, PGI menyoroti keragaman masyarakat Indonesia, termasuk keragaman agama, yang kini sedang diusik oleh fanatisme agama, yang menurutnya perlu disaring oleh keindonesiaan dalam masyarakat.

“Soekarno mengatakan, kalau mau jadi Islam tidak harus menjadi orang Arab, kalau mau jadi Kristen tak harus menjadi irang Jahudi dan kalau mau jadi Hindu tidak harus jadi orang India. Ini penting kita camkan kini agar keindonesiaan kita tidak terserabut karena fanatisme agama dan kemajemukan kita tidak tersekat-sekat karena paham keagamaan,” katanya.

Dalam lingkungan gereja, lanjut Gomar, merumuskan pergumulan rangkap gereja-gereja, yang di satu sisi orang Kristen bergumul dengan Tuhannya dalam arti menghayati kebenaran dan anugerah di dalam Kristus, dan, di pihak lain, sekaligus merupakan pergumulan dengan kebudayaan dan realitas masyarakat di mana orang Kristen itu hidup, yakni NKRI dan Pancasila.

Namun menurutnya, gereja perlu mengingatkan pendekatan yang melulu teoritis terhadap Pancasila cenderung menjerumuskan masyarakat pada probelamtika teoritis pula.

“Tanpa menyentuh problematika nyata yang mendesak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun. Pendekatan teoritis terhadap Pancasila mengandung bahaya akan melibatkan kita ke dalam suatu usaha yang melelahkan dan sia-sia, karena menghadapi keruwetan teoritis yang tak akan pernah mampu kita uraikaN. Masalah-masalah yang nyata malah jadi terlantar. Pancasila bisa membeku dan buntu dalam bentuk formal sehingga tidak lagi mampu memberikan ilham serta daya dorong untuk bertindak,”tukasnya.

Gomar menyinggung kehadiran para pemuda ASEAN lintas agama di acara tersebut. “Saya mengingatkan kita semua fenomena keberagamaan kaum muda dewasa ini. UIN Syarif Hifayatulah tahun lalu merilis hasil penelitian yang memgatakan kaum muda muslim lebih banyak mendapatkan ajaran agama dari medsos, dengan narasumber dari ustad-ustad yang tidak otoritatif secara teologis. Mereka kebanyakan adalah ustad dadakan karena faktor selebritas,” jelasnya.

Dalam kaitan ketiga hal ini, Gomar memandang perlunya pertemuan para tokoh agama seperti yang digagas secara berkala oleh Badan Pengelola Mesjid Istiqlal ini, dengan harapan para tokoh agama makin kuat mendorong umatnya beragama secara cerdas, dengan menghidupi substansi agama ketimbang mengendepankan simbol-simbol keagamaan, dan sedia melepas klaim-kalim keagamaannya semata, sebagaimana para pendiri bangsa.

“Semuanya demi Indonesia yang jaya dan majemuk,”terang almamater STFT Jakarta itu.

Sementara itu, Imam Besar Mesjid Istiqlal KH Nazaruddin Umar mengatakan, selama para tokoh agama bersatu maka tiang-tiang langit akan makin kokoh.

“Dan sebaliknya, kalau para tokoh agama terbelah akan runtuhlah tiang-tiang langit,”ujar Nazaruddin. (Ralian)

Komentar