Rekomendasi JPIP Terkait Polemik dan Masalah Importasi Garam Industri

Hukum1201 Dilihat

Lintong Manurung (tengah)

BeTimes.id – Pernyataan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pujiastuti saat diperiksa sebagai aksi yang menuduh Kementerian Perindustrian tahun 2018 mengabaikan rekomendasi kuota impor garam industri sebesar 1,8 juta ton yang telah tetapkan Kementerian KP, sedangkan Kementerian Perindustriann justru menetapkan kuota impor garam untuk industri sebesar 3,7 juta ton.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan (JPIP) Lintong Manurung mengemukakan, tuduhan ini semakin menarik untuk dikaji, karena akibat membengkaknya kuota impor tersebut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana menyatakan akibat pengabaian rekomendasi Menteri KP tersebut berdampak terhadap kepada kelebihan supply, merembesnya garam impor kepasar garam konsumsi dan harga garam lokal anjlok.”Dan diduga dalam penetapan kuota impor yang berlebihan ini, terdapat unsur kesengajaan oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi,”kata Lintong dalam keterangan persnya yang diterima wartawan, Senin (10/10).

Menurut Lintong, Upaya Kejaksaan Agung yang intensif mencari alat bukti dengan pengeledahan dan pemeriksaan yang sudah mencapai 57 saksi-saksi dan pernyataan mantan Menteri KP dan dugaan kejaksaan mengenai adanya unsur memperkaya diri dalam kasus ini, telah menyebarkan isu-isu yang tidak jelas kebenarannya ditengah masyarakat dan bahkan ditahun politik ini beberapa oknum menggunakan isu ini sebagai isu seksi untuk kepentingan politik.

Lintong mengemukakan, komoditi garam industri harus dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan, supaya dapat mengerti dengan jelas posisi strategis sebagai bahan baku dan bahan penolong industri-industri seperti chlor alkali (CAP), farmasi & kosmetik, aneka pangan, tekstil, pakan ternak, tekstil dan sebagainya yang telah memberikan sumbangan nyata dalam pertumbuhan ekonomi, perolehan devisa dari ekspor dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia.”Dalam rangka produksi dan tata kelola impor garam, Pemerintah telah menetapkan peraturan dan kebijaksanaan yang tepat, efektif dan efisien untuk melindungi dan mengamankan kebutuhan garam nasional,”ucapnya.

Lintong mengemukakan, Melalui PP No 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai bahan baku dan Bahan Penolong Industri. Dia melanjutkan, Permerin 34/2018 tentang Tata cara Pemberian Rekomendasi Impor Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong, kemudian dilanjutkan dengan Permendag 63/2019 tentang Ketentuan Impor Garam, Permendag 20/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. “Dan saat ini Pemerintah telah menetapkan Perpres 32/2022 tentang Neraca Komoditas yang akan memberikan kemudahan dan transparansi dalam penetapan PI.

Tahun ini Pemerintah telah menetapkan 5 Neraca Komoditas untuk garam, beras, gula, perikanan dan daging. “Berbasis hal-hal diatas tersebut maka JPIP tergugah dan berkewajiban untuk mencari kebenaran dan meluruskan kondisi yang sebenarnya dengan mengutamakan tanggapan yang didasarkan fakta dan kebenaran, dan bersama-sama dengan seluruh pihak untuk memberikan saran dan solusi yang terbaik agar industri garam nasional utamanya industri pengguna garam industri memperoleh tata kelola yang baik agar dapat bertumbuh dengan baik, memberikan kontribusi yang semakin besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan devisa dari ekspor,”ucap Lintong.

Menurut Lintong, berdasarkan data yang didapat Kementerian Perindustrian pada tahun 2022, posisi pengusaha garam nasional, industri garam dan industri pengguna garam yang dapat memberikan sumbangan untuk perekonomian nasional, ekspor dan penyerapan tenaga kerja.

Menurutnya, profil industri pengguna garam, meliputi industry-industri: chlor alkali (CAP), farmasi & kosmetik, aneka pangan, tekstil, pakan ternak, tekstil dan sebagainya, dalam hal ini kebutuhan Garam dengan quota 3.7 ton pada 2018, penyerapan tenaga kerja sebanyak 3,440 juta orang, nilai tambah atau sumbanganb terhadap PDB Rp. 1.197 triliun, ekspor pada 2021 sekitar Rp 71,7 miliar, dan jumlah industri pengguna garam industri sekitar 2.427 perusahaan, dan industri Penguna garam membutuhkan garam kualitas industri dengan kandungan NaCL sebesar 97 % atau lebih.

Selanjutnya Lintong mengemukakan, rincian kontribusi garam dalam industri pengguna garam nilai ekspornya pada 2020 dalam industri makanan dan minuman sebesar 31, 1 milar US$, dan pada 2021 senilai 44,7 miliar US$ AS, sedangkan nilai impor sebesar 21,8 juta US$. Lintong melanjutkan, jenis industri pengguna garam berupa industri makanan dalam nilai ekspor pada 2020 senilai 0,6 miliar US$, pada 2021 senilai 0,6 miliar US$, sementara nilai impor garam 0,4 US$.

Jenis Industri pengguna garam berupa industri kimia dengan nilai ekspor pada 2020 12,5 milyar US$, ekspor pada 2021 senilai 18,8 milyaar, sementara nilai impor garam senilai 62 juta US$. Jenis industri pengguna garam dalam industri pulp dan kertas nilai ekspor pada 2020 sebesar 6,6 milyar US$, pada 2021 7,6 milyar US$, sementara nilai impor garam senilai 21,8 juta US$.

Berdasarkan neracar komuditas garam, lanjut Lintong, tiap tahun mengalami penambahan kebutuhan, dari 3.532 ribu ton pada 2016, 3.729 ribu ton (2017), 4.011 ribu ton (2018), 4.162 ribu ton (2019), 4.128 ribu ton (2020), dan 4.399 (2021). Dia mengemukakan kebutuhan produksi sebanyak 168 ribu ton pada 2016, 1.111 ribu ton (2017),2.720 ribu ton (2018), 2.852 ribu ton (2019), 1.365 ribu ton (2020), dan mengalami penurunan hanya 863 ribu ton pada 2021.

Lintong mengutakan neraca realisasi impor hanya 2.143 ribu ton pada 2016, sebanyak 2.552 ribu ton (2017), sebanyak 2.836 ribu ton (2018), 2.699 ribu ton (2019), sebanyak 2.702 ribu ton (2020), dan mengalami penurunan hanya 915 ribu ton pada 2021.

Menurutnya, neraca garam Kemenko Bidang Perekonomian dalam produksi garam rakyat belum memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai bahan baku industri pengguna garam”Berdasarkan data dan informasi tersebut dapat dilihat bahwa Industri Pengguna Garam meliputi industry-industri berupa chlor alkali (CAP), farmasi & kosmetik, aneka pangan, tekstil, pakan ternak, tekstil dan sebagainya sangat strategis dan memiliki posisi yang cukup dominan untuk mendukung pengembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar,” kata Lintong.

Menurutnya, terganggunya pasokan bahan baku garam akan sangat mengganggu produksi dan ekspor, sehingga dibutuhkan pengamanan dan pengendalian yang cukup ketat agar pasokan bahan baku ini lancar dan tersedia dalam jumlah cukup untuk produksi. “Terganggunya pasokan bahan baku garam industri ini dapat mengganggu pertumbuhan perekonomian nasional dan berdampak buruk terhadap iklim usaha untuk menarik investor, bahkan dapat berakibat relokasi Industri pengguna garam yang existing ke luar negeri,”tukas Lintong.

Dia mengatakan, data Produksi Garam Nasional sangat fluktuatif. Terihat data produksi yang fantastis pada data produksi garam tahun 2018 dan 2019 yang mencapai produksi sebesar 2,7 juta ton dan 2,8 juta ton. Dengan data dari Kementerian Kelautan dan perikanan yang menyatakan tersedia luas lahan sebesar 22.000 Ha, dengan produktivitas max 100 ton/Ha per tahun. Estimasi produksi nasional maksimal yang dapat dicapai hanya 2.2 juta ton garam. Dan, lanjut Lintong, capaian max 100 ton/tahun sulit dicapai untuk lahan garam di Jawa Barat dan Jawa Tengah. “Dari hasil pengujian di laboratorium dapat diketahui bahwa kualitas produksi garam rakyat belum memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai bahan baku industri pengguna garam, dengan demikian quota impor garam industri sebesar 1.800.000 ton tersebut tidak masuk akal, dan tidak mencukupi untuk kebutuhan industri pengguna garam secara nasional,”tambah Lintong.

“Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kami Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan ( JPIP ) menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut, bahwa PP No 9 tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri adalah kebijaksanaan yang tepat dari Pemerintah guna menyelesaikan kemelut dan masalah yang timbul dalam masalah pengadaan garam sebagai bahan baku industri,” katanya.

Dikatakan, pemberian rekomendasi untuk kebutuhan bahan baku garam industri adalah portfolio Kementerian Perindustrian. Kebijakan lanjutan dengan terbitnya Permerin 34/2018 tentang Tata cara Pemberian Rekomendasi Impor Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong, kemudian dilanjutkan dengan Permendag 63/2019 tentang Ketentuan Impor Garam, Permendag 20/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. “Dan saat ini Pemerintah telah menetapkan Perpres 32/2022 tentang Neraca Komoditas akan memberikan regulasi dan tata kelola yang mudan dan transparan dalam pembinaan industri pengguna garam,”ucapnya.

Menurutnya, Kebutuhan garam industri tahun 2018 yang diperkirakan sebesar 3.700.000 ton yang lebih besar dari rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar 1.800.000 ton sudah sesuai dengan kebutuhan garam untuk industri pengguna garam. “Rekomendasi dari Kemenperin maupun Persetujuan Impor (PI) pada tahun 2018 yang diterbitkan Kementerian Perdagangan sebesar 3,16 juta ton. Jadi, di bawah angka perkiraan kebutuhan 3,7 juta ton tersebut.

Sedangkan realisasi impor pada tahun 2018 hanya sebesar 2,84 juta ton, Dari hasil kajian dan pengamatan JPIP, tidak ditemukan adanya unsur korupsi dan usaha memperkaya diri sendiri atau kelompok dari pihak istitusi pemberi quota impor garam industri tersebut,”ujar Lintong. Dia mengatakan, untuk mencegah adanya KKN dan penyimpangan/perembesan alokasi peruntukan garam, penerapan Neraca Komoditas garam ini hendaknya segera dapat dilaksanakan secara operasional.Lintong mengemukakan, dengan kondisi iklim yang kurang baik di Tahun 2022 ini, diperkirakan banyak petani dan pengusaha garam yang gagal panen, dan harga garam dipasaran untuk bahan baku lokal harganya sudah melonjak tinggi. “Peningkatan harga garam pada pertengahan tahun 2022 ini sudah mencapai Rp 1.000 per kg dan pada bulan oktober ini sudah mencapai Rp 1.500 per kg. Untuk mengatasi kelangkaan supply dan meningkatnya harga garam dipasar, perlu antisipasi dan kebijakan yang proaktif dari Pemerintah untuk mengatasi masalah ini,”tambah Lintong.

Dia mengutarakan, hasil produksi petani garam harus ditingkatkan mutunya agar memenuhi persyaratan kualitas garam yang dibutuhkan untuk Industri. Menurutnya, dalam jangka panjang produksi garam nasional sudah harus dapat menghasilkan garam industri yang dibutuhkan oleh industri pengguna garam didalam negeri, bahkan dapat menghasilkan garam yang memiliki kemampuan bersaing secara gobal di pasar dunia. “Tantangan yang cukup berat dan memerlukan upaya dan perhatian yang sangat serius dari Pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah dan seluruh instansi terkait,”ujar Lintong.(Ralian)

Komentar