Selain agama, mkenurut dia, identitas etnis juga seringkali digunakan sebagai dasar kampanye politik. Ada beberapa partai politik di Indonesia yang secara terbuka menyatakan bahwa mereka mewakili kepentingan etnis tertentu. “Hal ini bisa memperkuat solidaritas dalam kelompok etnis, tetapi juga dapat memicu sentimen kebencian terhadap kelompok lain,”tambahnya.
Selain itu, Sapta mengemukakan, politik identitas di Indonesia juga mencakup isu-isu gender. Isu-isu gender juga sering digunakan dalam kampanye politik, baik oleh calon laki-laki maupun perempuan.
Sapta menambahkan Latar belakang politik identitas di Indonesia bisa dilacak kembali ke masa kolonialisme, di mana kebijakan pemerintah kolonial Belanda membagi-bagi masyarakat Indonesia berdasarkan identitas etnis dan agama.
“Pada saat itu, pemerintah kolonial membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga kelompok: pribumi, pendatang, dan orang-orang Eropa. Pribumi sendiri kemudian dibagi lagi berdasarkan etnis dan agama, seperti Jawa, Sunda, Muslim, Hindu, dan sebagainya. Setelah kemerdekaan Indonesia, praktik politik identitas masih terus berlanjut dalam berbagai bentuk, meskipun di bawah konsep nasionalisme yang menekankan persatuan ,”terang Alumni Lemhannas RI Tahun 2016 ini.
Sapta mengatakan, politik identitas tidak bisa dijadikan pola atau dasar untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya, karena politik identitas tidak akan membawa dalam tujuan kesatuan dan kebersamaan.
Sebaliknya, Sapta berpendapat, moderasi Beragama dengan semangat Pluralisme merupakan sebuah kenyataan yang seharusnya dapat menjadi sumber kekuatan politik untuk membangun sistem demokrasi dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara.
Komentar