Otsus Aceh Tinggalkan Sejumlah Persoalan, Ini Kata Ex Wagub Aceh Muhammad Nazar

Uncategorized167 Dilihat

BeTimes.id–Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2017, Muhammad Nazar, mengakui, pasca otonomi khusus (Otsus) Aceh hingga kini masalah kesenjangan ekonomi masih dirasakan masyarakat. Yang kaya semakin kaya, dan yang kelas menengah ke bawah semakin tidak berdaya.

Diakui, dengan otonomi khusus akan mengakibatkan kehidupan masyarakat Aceh semakin lebih baik lagi seusai era Daerah Operasi Militer (DOM) sehingga Aceh akan semakin membenahi dirinya dengan lebih baik lagi.

Namun, Nazar mengatakan, pasca perjanjian Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Filandia ketika itu akan membuat daerah Aceh lebih baik lagi, dan terbangun kesejahteraan bagi masyarakat.

“Dulu dijanjikan Rp 100 triliun otonomi khusus untuk Aceh. Namun, sampai saat ini tidak terealisasi. Karenanya, tidak seimbang selama ini dana Otonomi khusus yang diberikan. Waktu saya menjabat Wakil Gubernur Aceh diberikan Rp 2 triliun.

Pada tahun 2012, sekitar Rp 3,6 triliun. Untuk luas daerah dengan uang sebesar itu sangat tidak memadai,” kata Nazar, dalam Launching Buku bertajuk “Dispatches From Aceh, Conflict Resolution of Aceh 2002-2006”, di Aula Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Selasa, (27/8).

Launching buku dengan menggunakan bahasa Inggris ini diinisiasi Pusat Kajian Otonomi Daerah (PUSKOD). Berharap dengan menggunakan bahasa Inggris akan dijadikan rujukan dalam resolusi konflik di suatu negara.

Lebih lanjut menurut Nazar, dengan uang sebesar itu untuk Pemerintah Aceh tidak lah cukup. karenanya, Nazar yang juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur.

“Untuk luas daerah dengan uang seperti itu memang tidak memadai. Karenanya, fokus pada pembangunan infrastruktur sehingga memberikan akses bagi para pelaku ekonomi di Aceh “tandas Nazar.

Nazar mengklaim, bahwa infrastruktur daerah Aceh lebih baik ketimbang daerah Sumatera bagian Utara. Namun demikian, kerap kendaraan yang lalu lalang lebih banyak didominasi nomor kendaraan di luar Aceh. “Hal inilah yang menjadi “pekerjaan rumah” bagi pemanfaatan infrastruktur Aceh ke depan sekitar 60 persen kendaraan di luar Aceh,”imbuhnya.

Nazar juga mengakui, sampai saat ini masih minimnya para konglomerat di Aceh. Bahkan, perkebunan kelapa sawit di tanah rencong ratusan ribu hektar lebih dikuasai pengusaha luar, ketimbang pengusaha lokal.

Nazar mengatakan, persoalan birokrasi di Aceh meninggalkan masalah korupsi yang perlu ditangani dengan baik dalam penegakan hukum ke depan. Korupsi, lanjut Nazar, sangat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Aceh.

“Kalangan birokrasi Aceh banyak yang melancong ke Medan, Malaysia dan Singapura,”ucap Nazar.

Nazar mengatakan, mayoritas kejahatan di Aceh adalah kejahatan narkoba yang perlu ditangani dengan baik. “Dahulu persoalan narkoba melibatkan pemerintah daerah untuk menanganinya, tapi sekarang aparat kepolisian,”tutur Nazar.

Hal senada, Pemerhati Masyarakat Sipil Aceh Teuku Ismuhadi Jafar mengatakan, reformasi di Aceh lebih dominan lahan Aceh diberikan kepada mantan Kombatan atau bekas pejuang GAM.

“Prakteknya tanah hasil reformasi 2 hektar bukan milik mereka lagi tapi pengusaha cukong-cukong di Singapura yang memiliki lahan sawit ratusan ribu hektar,”ujar Ismuhadi.

Para ex Kombatan GAM, lanjut Ismuhadi, meminta KTP masyarakat untuk sertifikat tanah. Prakteknya bibit dijual kepada cukong. Cukong menguasai 32 ribu hektar.

Menurut Ismuhadi, reformasi hanya diberikan regulasi saja, tidak diberikan edukasi secara mandiri. “Kalau tulus memberikan jangan hanya regulasi saja tapi dengan mendampingi para masyarakat dalam berusaha,” tandasnya. (Dean)

Komentar