BeTimes.id–Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatan, sekitar 300 terpdana mati yang sampai saat ini belum dieksekusi, karenakan pertimbangan hubungan antara negara, dan intruksi presiden terkait pidana mati.
“Kalau eksekusi mati itu kan terkait juga dengan hubungan dengan banyak negara ya. Karena itu juga tentu kita harus mendengar pertimbangan dan arahan presiden terhadap pelaksanaan pidana mati itu,” kata Yusri menjawab pertanyaan wartawan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis (6/2).
Yusril membenarkan Kejaksaan adalah instansi yang berwenang melaksanakan eksekusi. Namun pada terpidana eksekusi mati, kata Yusril, terdapat sejumlah hal yang harus dipertimbangkan.
“Beda halnya dengan hukuman mati, hukuman mati itu kan orangnya ditembak, ya selesai, mati ya. Tapi persoalannya karena ini menyangkut negara-negara lain, pertimbangan kemanusiaan dan lain-lain,” jelas Yusril.
Meski begitu, eks Ketum PBB itu mengaku bisa memaklumi pernyataan Jaksa+- Agung itu. Dia memastikan, pihaknya terus berkoordinasi kepada Kejaksaan perihal itu.
“Saya dapat memaklumi apa yang disampaikan oleh Pak Jaksa Agung itu. Karena itu kami tetap berkoordinasi satu sama lain dan menyampaikan kepada presiden, apa pertimbangan presiden, apakah perlu dieksekusi atau mau dibagaimanakan. Pada akhirnya itu adalah arahannya dari Pak Presiden sendiri,” terangnya.
Yusril kembali memastikan koordinasi akan terus terjalin dengan Kejaksaan. Terlebih mengenai kasus pemulangan terpidana mati kembali ke negara asalnya.
“Selama ini juga kami terus melakukan koordinasi termasuk dengan Kejaksaan Agung sendiri, mengingat agak beda dengan orang yang dipidana sumur hidup misalnya, itu sudah dieksekusi oleh Kejaksaan Agung dan tugas selanjutnya adalah pada Kementerian Hukum kalau sekarang,” ungkapnya.
Yusril mengatakan, hukuman mati tidak dieksekusi salah satu alasan masih menggantung.
“Nah karena itu sebelum proses pemindahan narapidana itu terjadi, saya juga mengirimkan surat kepada Jaksa Agung, menyatakan bahwa pemerintah atas juga persetujuan dan arahan Bapak Presiden, itu akan memindahkan yang bersangkutan ke negaranya dan karena itu tidak dilakukan eksekusi terhadap narapidana yang dijatuhi hukuman mati ini, surat-suratnya itu ada saya sampaikan kepada Kejaksaan Agung,” tandsanya.
Semenatara itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, belum dilakukannya eksekusi mati terhadap 300 terpidana itu salah satu kendalanya karena mereka merupakan warga negara asing (WNA).
“Yang saya sayangkan gitu lho, sekarang kami untuk pelaksanaan hukuman mati udah hampir 300an yang hukumannya mati tapi tidak bisa dilaksanakan,” kata Jaksa Agung, dalam acara Peluncuran Buku Tinjauan KUHP 2023 Kejaksaan Tinggi Khusus Jakarta, Rabu (5/2).
“Tidak bisa dilaksanakan itu karena ininya (terpidana) orang luar,” sambungnya.
Selain itu kendala lain dalam penerapan hukuman mati itu terkait faktor hubungan diplomatik antara Indonesia dengan negara asal para narapidana tersebut.
Menurut Burhanuddin banyak dari negara asal narapidana yang keberatan jika warganya dilakukan proses hukuman mati di Indonesia.
“Kita pernah beberapa kali bicara waktu itu masih Menteri Luar Negerinya ibu (Retno Marsudi) ‘Kami masih berusaha menjadi anggota ini, anggota ini, tolong jangan dulu nanti kami akan diserangnya’,” ujar Burhanuddin.
Jaksa Agung menjelaskan kebanyakan terpidana mati merupakan warga asing dengan kasus narkoba. Di antaranya berasal dari Eropa, Amerika, dan paling banyak Nigeria.
Proses hukum tersebut harus berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri karena mempertimbangkan hubungan dengan negara lain. “Kita pernah beberapa kali bicara waktu itu masih menteri luar negerinya ibu (Retno Marsudi), ‘Kami masih berusaha untuk menjadi anggota ini, anggota ini, tolong jangan dulu nanti kami akan diserangnya nanti’,” kata dia.
Burhanuddin menuturkan pemerintah juga mempertimbangkan nasib WNI jadi terpidana mati di luar negeri. Menurutnya, ada perhitungan-perhitungan yang sampai saat ini belum menemukan titik terang.
“Begitu selesai kami coba minta keringanan, karena kalau kayak China. Saya bilang, China bagaimana kalau kami eksekusi. Kebetulan di sana eksekusi mati masih berjalan. Apa jawabnya bu menteri pada waktu itu? ‘Pak kalau orang China dieksekusi di sini, orang kita di sana akan dieksekusinya’,” ungkapnya.
ST Burhanuddin mengatakan, dirinya ingin para terpidana hukuman mati itu dieksekusi. “Jadi memang sangat-sangat saya bilang capek-capek kita udah nuntut hukuman mati nggak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita,”ujarnya. (Davin)
Komentar