Dukung Sorbatua Siallagan, Ratusan Elemen Masyarat Geruduk Kantor MA

Nasional180 Dilihat

BeTimea. Id– Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan (SMS3) geruduk kantor Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) di Jakarta Pusat, Rabu (26/2).

Pengunjuk rasa itu, menyambangi MA dalam rangka melakukan aksi damai untuk meminta keadilan dari Mahkamah Agung terkait dengan perkara Sorbatua Siallagan, yang juga Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Saat ini, Sorbatua Siallagan sedang berproses di tingkat kasasi MA RI.

Pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Judianto Simanjuntak pmenyatakan, sebagaimana diketahui bersama pada tanggal 14 Agustus 2024, menjelang 3 hari Kemerdekaan Indonesia ke 79 tahun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun membacakan putusan terhadap Sorbatua Siallagan, dinilai melukai rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi Sorbatua Siallagan.

Melalui putusannya Nomor: 155/pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, Majelis Hakim menyatakan menghukum Sorbatua Siallagan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar.

Dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan tersebut, menurut Judianto adalah keliru dan menyesatkan, sebab fakta sejarah menunjukkan komunitas masyarakat adat Ompung Umbak Siallagan yang dipimpin Sorbatua Siallagan lebih dahulu mendiami dan mengelola wilayah adatnya yang merupakan warisan nenek moyangnya dari kehadiran PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL). m

“Sejak tahun 1700-an. Saat ini, generasi yang mendiami Huta Dolok Parmonangan sudah generasi ke-XI (sebelas) dari ketiga anak Raja Ompu Umbak Siallagan.

Tapi ada satu orang hakim berbeda pendapat atau Dissenting Opinion, yakni hakim anggota Agung Cory Fondara Dodo Laia, S.H., M.H., yang menyatakan, apabila belum dilakukan sosialisasi mengenai izin Kawasan Hutan Produksi yang dimiliki TPL kepada Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Tetap, maka tindak pidana mengerjakan, menduduki, menguasai Kawasan kawasan hutan tidak bisa dikenakan kepada Terdakwa.

Pendapat hakim yang berbeda ini, lanjut Judianto, menunjukkan sebenarnya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan.

Lebih lanjut Judianto menjelaskan bahwa Sorbatua Siallagan tidak menerima Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tersebut karena faktanya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak pidana sehingga mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Medan.

“Upaya hukum banding tersebut akhirnya mendatangkan keadilan bagi Komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dan Sorbatua Siallagan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan, menyatakan perbuatan Sorbatua Siallagan BUKAN PERBUATAN PIDANA melainkan perbuatan perdata.

Putusan hakim juga memutuskan untuk melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum,dan memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar membebaskan Sorbatua Siallagan dari rumah tahanan negara.

Putusan Pengadilan Tinggi Medan diucapkan pada tanggal 17 Oktober 2024 dengan Nomor : 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN.

Menurut Judianto, saat ini perkara Sorbatua Siallagan sedang berproses di tingkat kasasi MA RI karena Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Simalungun mengajukan upaya hukum kasasi ke MA.

Hal senada, Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Sinung Karto menyatakan putusan Pengadilan Negeri Simalungun sangat tidak adil bagi komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan khususnya bagi Sorbatua.

Dia menegaskan, keberadaan masyarakat adat dilindungi dalam konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan instrumen hukum lainnya.

Sebaliknya, lanjut dia, Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut layak diapresiasi karena mencerminkan rasa keadilan bagi Sorbatua Siallagan dan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, sebab yang dilakukan Sorbatua Siallagan hanya mengelola wilayah adatnya, itu bukan tindak pidana, dan hal itu dilindungi konstitusi dan berbagai instrumen hukum lainnya.

“Kriminalisasi yang dialami Sorbatua Siallagan merupakan akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Itulah akar persoalan karena tidak ada payung hukum melindungi masyarakat adat di seluruh Nusantara. Akibat ketiadaan Undang-Undang tentang masyarakat adat telah menimbulkan konflik masyarakat adat dengan korporasi yang mengakibatkan perampasan wilayah adat, dan kriminalisasi masyarakat adat di seluruh nusantara, termasuk kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan, “tandasnya.

Sebelumnya, PT TPL melaporkan Sorbatua pada 16 Juni 2023 atas tuduhan “pengrusakan, penebangan pohon eukaliptus, dan pembakaran lahan yang ditanami perusahaan”. Dari kaca mata perusahaan, Sorbatua dan masyarakat di Dompu dinilai “tidak berhak” berkegiatan di wilayah itu karena merupakan bagian dari area konsesi perusahaan.

Juru bicara PT TPL, Salomo Sitohang, mengatakan komunitas Ompu Umbak Siallagan “tidak pernah ada” dalam daftar klaim tanah adat yang diajukan masyarakat.

“Sampai saat ini TPL hanya menerima 10 klaim tanah adat dan sudah diselesaikan dengan Kemitraan Pola Perhutanan Sosial. Dari daftar 10 klaim tanah adat dimaksud, nama Ompu Umbak Siallagan tidak pernah ada,” tutur Salomo kepa wartawan Apriadi.

Diketahui, Sorbatua Siallagan adalah ketua dari masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang aktif memperjuangkan hak atas tanah dan hutan di Kampung Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.

Dia disebut aktif mengikuti berbagai pertemuan dan aksi protes menuntut penyelesaian konflik tanah antara PT TPL dan masyarakat. Bagi Veronika, kakeknya ini adalah panutan masyarakat dalam perjuangan mereka.

“Beliau lah ketua kami, opung kami. Beliau selalu semangat, terus mengarahkan anak cucunya. Dialah guru kami, panutan kami,” kata Veronika.

Sehari-hari, Sorbatua bersama masyarakat di kampung ini mengelola hutan yang mereka yakini sebagai hutan adat dengan cara menanam sayuran dan buah-buahan.

Menurut catatan AMAN Tano Batak, mereka adalah keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan yang telah menempati wilayah ini sejak tahun 1700-an. Masyarakat yang kini mendiami wilayah ini merupakan generasi ke-11.

Selama turun-temurun, mereka memiliki hukum adat sendiri dalam mengelola hutan lindung atau dalam bahasa mereka disebut sebagai Tombak Raja.

Hukum adat itu mencakup bahwa kayu yang ada di dalam Tombak Raja tidak boleh dijual. Kayu dari Tombak Raja hanya boleh diambil untuk mendirikan rumah di Kampung Dolok Parmonangan. Itupun hanya boleh dua pokok kayu, dan sebagai gantinya harus ditanam kembali 20 pokok bibit kayu.

Setelah Indonesia merdeka, sebagian kawasan hutan masyarakat Ompu Umbak Siallagan berfungsi sebagai hutan lindung. (Ralian)

Komentar