BeTimes.id- Politik uang merupakan persoalan akut setiap pemilu, baik pemilihan legislatif dan pemilihan eksekutif termasuk di Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2020 tidak akan terhindari.
Koordinator Komite Pemilih ndonesia (TePI) Jeirry Sumampouw mengakui, Pilkada serentak tahun ini sangat dilematis. Pasalnya, di tengah dunia sedang mengalami pandemi covid-19.
“Kami dorong Pilkada sehat, apalagi biaya Pilkada yang akan digelontorkan dari APBD dan APBN sebesar Rp 20 triliun. Pilkada juga untuk mendorong hidupnya perekonomian masyarakat dengan pembuatan alat peraga para calon kepala daerah yang dikeluarkan setiap pasangan calon kepala daerah dari kantongnta sendiri,”kata Jeirry, dalam diskusi webinar bertajuk “Pilkada dan Ancaman Demokrasi yang digelar DPD PIKI Jawa Barat,Jumat (25/9).
Pilkada yang digelar serentak juga tidak mengabaikan kesehatan masyarakat. “Masyarakat sehat tapi juga demokrasi sehat,”tambahnya.
Diakui Jeirry, tahun ini partisipasi perempuan untuk maju dalam Pilkada 2020 masih minim hanya sekitar 11 persen, ” ungkap Jeirry.
Diungkapkan, dalam Pemilihan Gubernur di 9 derah hanya diikuti lima perempuan, sementara calon kepala daerah laki-laki sebanyak 45 calon kepala.
Pada Pemilihan Bupati di 224 daerah hanya diikuti 128 perempuan dan 1107 laki-laki. “Pilkada walikota di 37 daerah hanya diikuti 25 perempuan dan 177 laki-laki,”ungkap Jeirry.
Jeirry menegaskan, terjadinya politik uang karena calon kepala daerah tidak dekat dengan rakyat, dan lemahnya gagasan.
“Membuat demokrasi kita tak maju ke level substansial. Selain itu, keterbatasan regulasi untuk menjerat dan memberi efek jera kepada para calon kepala daerah menjadi kendala tersendiri,”tukas Jeirry.
Meski demikian, Jeirry menegaskan, agar didorong perlawaann etis-moral bagi para pelaku money politik.
Jeirry mengungkapkan, menguatnya politik sektarian di Pilkada tidak terhindari. Dia mengatakan, menguatnya politik identitas menjadi pekerjaan rumah bersama untuk mengeleminir akan hal tersebut. “Terlebih regulasi tak cukup “efektif” menjerat politik SARA,”tukasnya. Sementara itu, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie tidak menafikan akan politik SARA “mewarnai” Pilkada sereantak ke depan.
“Seperti pelarangan terjemahan kitab suci dalam bahasa daerah adalah salah satu dilakukan pada saat menjelang Pilkada. “Yang sangat disayangkan kepala daerah yang diusungkan partai nasionalis tapi untuk memenangkan Pilkada juga menggunakan isu SARA,” ujarnya.
Dalam diskusi webinar bertajuk “Pilkada dan ancaman demokrasi” yang digelar Universitas Kristen Maranatha bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia Provinsi Jawa Barat (DPP PIKI Jabar). (Ralian)
Komentar