Sekretaris Jenderal Jokowi Centre Imanta Ginting. (Foto: Ralian)
BeTimes.id-Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins mengakui, Indonesia adalah negara superpower dalam penanganan perubahan iklim global.
Hal itu, karena Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, setidaknya enam kali lipat kebutuhan energi nasional saat ini. Indonesia memiliki hutan yang sangat luas dan bisa menyerap gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia memiliki ambisi untuk mengatasi masalah emisi.
Deputi I Kepala Staf Presiden Febry Calvin Tetelepta mengatakan itu, dalam diskusi webinar nasional yang digelar Jokowi Centre bertanjuk, “Deforestasi dan Komitmen Perubahan Iklim Indonesia Menuju COP-26, Rabu (3/11).
Febri mengutarakan, salah satu tujuh agenda prioritas pembangunan nasional Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin adalah, lingkungan hidup, ketahanan bencana dan perubahan iklim.
Febry mengemukakan, komitmen Pemerintah dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) sepanjang tahun 2020-2024 adalah pembangunan nasional perlu memperhatikan daya dukung sumber daya alam dan daya tampung lingkungan hidup, kerentanan bencana, dan perubahan iklim.
“Dengan memperhatikan peningkaatan kualitas lingkungan hidup, peningkatan ketahanan bencana, perubahan iklim, dan Pembangunan rendah karbon,” terang Febry.
Febry mengutarakaa, Komitmen Nasional 2016-2030 adalah amanat UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement dengan menurunkan emisi GRK 29% (kemampuan sendiri) atau 41% (dengan bantuan internasional) pada 2030 sesuai Nationally Determine Contribution (NDC).
“Dengan sektor energi menurunkan emisi GRK sebesar 314–398 Juta Ton CO2 tahun 2030, melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih,”tambahnya.
lebih lanjut, Febri mengatakan, Presiden dalam Leader summit on climate Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak seluruh dunia melakukan aksi nyata
melalui kebijakan dan pemberdayaan dan penegakan hukum.
Menurut dia, laju deforestisasi indonesia saat ini turun terendah dalam 20 tahun terakhir, dengan penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut saat ini mencapai 66 juta hektare.
“Indonesia mampu menekan angka kebakaran hutan hingga 82%, dan telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim,”terang Febri.
Febri menuturkan, Indonesia menyambut baik penyelenggaraan konvensi kerangka perubahan Iklim ke-26 (COP-26).
“Indonesia sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi melalui pengembangan biofuel, industri baterai lithium, dan kendaraan listrik,”tukasnya.
Menurut Febri, Laju deforestasi Indonesia turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. “Kebakaran hutan turun 83% pada 2020,”katanya.
Dia menegmukakan, Indonesia akan mencapai Net Carbon Sink pada tahun 2030. Hal tersebut adalah komitmen Indonesia menjadi bagian dari solusi.
“Keberhasilan pengelolaan iklim di Indonesia dapat dicapai karena Indonesia menempatkan aksi iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pertimbangan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial harus dipadukan,”terang Febri.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Jokowi Centre, Imanta Ginting mengatakan, bahwa komitmen pemerintah dalam pengarustutaman perubahan iklim sangat jelas dan terukur. Ditambah dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam CEOs Forum di Glasgow. Presiden menyampaikan bahwa Indonesia telah mengadopsi Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050, serta road map yang detail untuk mencapai target net zero emission pada 2060.
“Langkah konret teresebut membuat Indonesia dipandang serius oleh negara – negara lain dalam pengarustamaan perubahan iklim. Untuk itu integrasi peran antara pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan akademisi menjadi kunci dalam mengejar target tersebut,” tegas Imanta.
Dalam webinar nasional tentang perubahan iklim dipandu Budianto Surbakti, hadir pembicara Guru Besar Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo, Serikat Petani Kelap Sawit Tirza Pandelaki, dan Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Hanif Faiso Nurofiq. (Ralian)
Komentar